Kamis, 16 Juli 2009

Parameter-parameter dalam Analisa Batubara

1.Analisis proksimat batubara (coal proximate analysis)

Analisis proksimat batubara bertujuan untuk menentukan kadar Moisture (air dalam batubara) kadar moisture ini mengcakup pula nilai free moisture serta total moisture, ash (debu), volatile matters (zat terbang), dan fixed carbon (karbon tertambat). Moisture ialah kandungan air yang terdapat dalam batubara sedangkan abu (ash) merupakan kandungan residu non-combustible yang umumnya terdiri dari senyawa-senyawa silika oksida (SiO2), kalsium oksida (CaO), karbonat, dan mineral-mineral lainnya,Volatile matters adalah kandungan batubara yang terbebaskan pada temperatur tinggi tanpa keberadaan oksigen (misalnya CxHy, H2, SOx, dan sebagainya),
Fixed carbon ialah kadar karbon tetap yang terdapat dalam batubara setelah volatile matters dipisahkan dari batubara. Kadar fixed carbon ini berbeda dengan kadar karbon (C) hasil analisis ultimat karena sebagian karbon berikatan membentuk senyawa hidrokarbon volatile.

2.Nilai kalor batubara (coal calorific value)
Salah satu parameter penentu kualitas batubara ialah nilai kalornya, yaitu seberapa banyak energi yang dihasilkan per satuan massanya. Nilai kalor batubara diukur menggunakan alat yang disebut bomb kalorimeter.

Kalorimater bom terdiri dari 2 unit yang digabungkan menjadi satu alat. Unit pertama ialah unit pembakaran di mana batubara dimasukkan ke dalam bomb lalu diinjeksikan oksigen lalu bomb tersebut dimasukkan kedalam bejana disini batubara dibakar dengan adanya pasokan udara/oksigen sebagai pembakar. Unit kedua ialah unit pendingin/kondensor (water handling).


3.Kadar sulfur
Salah satu cara untuk menentukan kadar sulfur yaitu melalui pembakaran pada suhu tinggi. Batubara dioksidasi dalam tube furnace dengan suhu mencapai 1350°C. Sulfur oksida (SOx) yang terbentuk sebagai hasil pembakaran kemudian ditangkap oleh oleh detektor infra merah kalau menggunakan metode infrared sedangkan kalau menggunakan metode HTM akan ditangkap oleh larutan peroksida lalu dititrasi dengan natrium borat dan kemudian dianalisis.



4.Analisis ultimat batubara (coal ultimate analysis)
Analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kadar karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen, (N), dan sulfur (S) dalam batubara. Seiring dengan perkembangan teknologi, analisis ultimat batubara sekarang sudah dapat dilakukan dengan cepat dan mudah. Analisa ultimat ini sepenuhnya dilakukan oleh alat yang sudah terhubung dengan komputer. Prosedur analisis ultimat ini cukup ringkas; cukup dengan memasukkan sampel batubara ke dalam alat dan hasil analisis akan muncul kemudian pada layar komputer.



5.Analisa Size Analisis

Data analisis dari suatu hasil tambang ialah satu data dari data-data yang diperlukan dalam perancangan coal preparation plant, pada crushing plant dan screening plant pemeriksaan size diperlukan untuk melihat apakah hasil dari proses masih sesuai dengan spesifikasi atau tidak, pada proses loading dilakukan untuk mengantisifasi masalah yang timbul karena kalau terlalu banyak yang fine coal nilai total moisturenya cenderung meningkat dan akan berdebu pada saat kering.

Sumber : http://idhamds.wordpress.com/

Read More..

Klasifikasi Batubara

Batubara bukan hanya merupakan material yang heterogen tapi juga merupakan material yang jenisnya beragam. Jenis batubara dapat dilihat dari umurnya atau ranknya, kandungan mineralnya atau grade, elemen tanaman pembentuk batubara (type) dan kegunaan batubara tersebut.

Banyak para ahli mencoba untuk mengelompokkan jenis batubara tersebut berdasarkan parameter tersebut di atas, tapi yang paling banyak dipergunakan orang ialah berdasarkan umurnya (rank).

Secara umum batubara diklasifikasikan sebagai berikut :
Peat (gambut), sebagian para ahli mengatakan bahwa peat bukan batubara karena masih mengandung selulosa bebas, tapi sebagian lagi menyatakan bahwa peat adalah batubara muda. Carbon = 60% – 64% (dmmf), Oxygen = 30% (dmmf)
Lignite, Carbon = 64% – 75% (dmmf), Oxygen = 20% – 25% (dmmf)
Sub-bituminous, Carbon = 75% – 83% (dmmf), Oxygen = 10% – 20% (dmmf)
Bituminous, Carbon = 83% – 90% (dmmf), Oxygen = 5% – 15% (dmmf)
Semi-anthracdite, Carbon = 90% – 93% (dmmf), Oxygen = 2% – 4% (dmmf)
Anthracite, Carbon = > 93%


Di bawah ini adalah klasifikasi yang banyak dipergunakan orang

1. ASTM Classification

Sistem klasifikasi ini mempergunakan volatile matter (dmmf), fixed carbon (dmmf) dan calorific value (dmmf) sebagai patokan.

Untuk anthracite, fixed carbon (dmmf) merupakan patokan utama, sedangkan volatile matter (dmmf) sebagai patokan kedua. Bituminous mempergunakan volatile matter (dmmf) sebagai patokan kedua. Lignite mempergunakan calorific value (dmmf) sebagai patokan.

2. Ralston’s Classification

Ralston’s mempergunakan hasil analisa ultimate yang sudah dinormalisasi (C + H + O = 100). Ditampilkan dalam bentuk triaxial plot. Band yang terdapat pada triaxial plot tersebut ialah area dimana batubara berada.

3. Seyler’s Classification

System klasifikasi ini mempergunakan % carbon (dmmf) dan % hydrogen (dmmf) sebagai dasar utama. Klasifikasi ini ditampilkan dalam bentuk beberapa grafik kecil yang bertumpu pada grafik utama. Grafik utama menghubungkan % carbon (dmmf) dengan % hydrogen (dmmf). sedangkan grafik kecil menggambarkan hubungan calorific value (dmmf) dengan % volatile matter (dmmf) dan % moisture (adb), menggambarkan % oxygen (dmmf), crucible swelling number dan rasio O/H=8.
Ditengah grafik tersebut terdapat band yang menggambarkan yang menggambarkan area dimana 95% batubara inggris akan berada serta menunjukkan jenisnya.Batubara yang jatuh di atas band disebut per-hydrous sedangkan yang jatuh di bawahnya disebut sub-hyrous. Seyler’s chart ini tidak cocok untuk low rank coal.

4. ECE Classification

ECE membuat system klasifikasi yang dapat dipergunakan secara luas, pada tahun 1965 yang kemudian menjadi standar international.Sistem ini mengelompokkan batubara dalam class, group dan sub-group.

Coal class mempergunakan calorific value atau volatile matter sebagai patokan. Coal group mempergunakan Gray-king coke type atau maximum dilatation pada Audibert-Arnu dilatometer test sebagai patokan, sedangkan coal sub-group mempergunakan crucible swelling number dan Roga test sebagai patokan.

Sistem ini mampu menunjukkan coal rank dan potensi penggunaannya, terutama coal group dan coal sub-group yang menjelaskan perilaku batubara jika dipanaskan secara perlahan maupun secara cepat sehingga dapat memberikan gambaran kemungkinan penggunaannya. Pada tahun 1988 sistem ini dirubah dengan lebih menekankan pada pengukuran petrographic.

5. International Classification of Lignites

ISO 2960:1974 “Brown Coals and Lignites. Classification by Type on the Basis of Total Moisture content and Tar Yield”. Mengelompokkan batubara yang mempunyai heating value (moist,ash free) lebih kecil dari 5700 cal/g. Batubara dikelompokkan dalam coal class dengan patokan total moisture dan coal group dengan patokan tar yield.

Tar yield diukur dengan Gray-King Assay, dimana batubara didestilasi dan hasilnya berupa gas, air, cairan, tar dan char dilaporkan dalam persen. Tar yield mempunyai korelasi dengan hydrogen dan pengukuran ini cukup baik sebagai indicator komposisi petrographic.

Sumber : http://idhamds.wordpress.com/

Read More..

Sampling Batubara

I. Pendahuluan

Dalam transaksi pembelian batubara, bukan hanya kuantitas yang menjadi perhatian utama, tetapi juga kualitasnya karena menjadi salah satu faktor yang menentukan harga batubara, selain itu menjadi penentu apakah batubara tersebut diterima atau ditolak oleh buyer oleh karena itu pengukuran kualitas harus dilakukan secermat mungkin.

Pengukuran kualitas dilakukan melalui tahap-tahap :
1.Sampling
2.Sample preparation
3.Analysis

Berdasarkan perhitungan statistik, para ahli menyatakan bahwa 80% kecermatan pengukuran kualitas batubara ditentukan oleh sampling, 20% lainnya ditentukan oleh sample preparation dan analysis, oleh karena itu proses sampling memerlukan perhatian yang jauh lebih besar.

Untuk mendapatkan gambaran kualitas batubara menyeluruh yang dapat dipercaya, maka dilakukan pengukuran kualitas di setiap operasi antara lain :
1.Tahap eksplorasi
2.Produksi
3.Penjualan


Sampling yang akan dibahas disini adalah sampling yang hanya ada kaitannya dengan tahap produksi dan penjualan.

II. Sampling

Sampling adalah proses pengambilan sebagian komoditas dari seluruh komoditas yang akan diperiksa kualitasnya, seluruh komoditas tersebut disebut populasi sedangkan bagian komoditas yang terambil tersebut sample atau contoh.

Tujuan sampling ialah mendapatkan contoh yang selain kualitasnya bisa mewakili kualitas seluruh populasi, jumlahnya pun relatif masih bisa ditangani.

Faktor utama yang menentukan tingkat kesulitan suatu sampling ialah variabilitas komponen-komponen pembentuk populasi.

Batubara merupakan material yang mempunyai tingkat variabilitas sangat tinggi, baik secara fisik maupun secara kimia, oleh karena itu sampling batubara yang baik tidak mudah dilakukan, padahal hasil yang mewakili seluruh populasi merupakan utama semua pihak terkait.

1. Apa yang disebut dengan sampling yang baik?

Sampling yang baik adalah sampling yang di samping dilakukan dengan akurat dan presisinya tinggi, sehingga contoh mewakili seluruh populasi dengan baik, jumlah contoh yang terambilpun harus dapat ditangani.

Karena tak seorangpun tahu berapa nilai kualitas sesungguhnya suatu komoditas, maka metode sampling, sample preparation dan analysis dianggap tidak pernah ada yang 100% sempurna. Nilai kualitas yang didapat dari suatu pengukuran hanyalah nilai pendekatan.

Nilai yang paling dekat dengan nilai sesungguhnya adalah nilai rata2 hasil analisis yang didapat oleh sebanyak mungkin pemeriksaan, dengan menggunakan metode standar yang sama.

2. Dimana sampling bisa dilakukan?

Pada dasarnya sampling dilakukan dimana saja, dalam dua kemungkinan kondisi yang berbeda yaitu :
Kondisi Moving stream (sementara batubara dipindahkan) lokasinya di Belt conveyor, stockpile, barge, ship (incremental).
Kondisi Stationary (batubara dalam tumpukan) lokasinya di stockpile, barge atau ship.

Sampling dalam kondisi moving stream lebih disukai para praktisi dari pada dalam kondisi stationary. Hal ini dikarenakan apabila dalam kondisi moving stream, increment contoh diambil persatuan jumlah berat atau waktu tertentu pada saat batubara tersebut dipindahkan, sehingga contoh yang terambil terdapat lebih mewakili seluruh populasi, sedangkan sampling dalam kondisi stationary, contoh hanya diambil dari permukaan saja (kira-kira satu meter dari permukaan) sehingga contoh tidak cukup mewakili populasi terutama pada stockpile dimana segregasi tidak mungkin dapat dihindarkan sehingga kemungkinan terjadinya bias besar sekali.

3. Bagaimana sampling dilakukan?

Sampling dapat dilakukan baik secara manual maupun secara mechanical, cara mechanical sampling merupakan cara yang lebih disukai karena :
Contoh yang didapat dengan cara ini lebih bisa mewakili populasi dibandingkan dengan contoh yang didapat dengan cara manual pada umumnya, kecuali stopped-belt sampling.
sampling dilakukan tampa harus mengganggu jalannya operasi, karena sampling dilakukan terhadap batubara yang berada pada belt conveyor yang sedang berjalan (moving stream):
perkiraan presisi yang dicapai dapat diukur
bias yang mungkin terjadi dapat diukur
keamanan para sampler lebih terjamin

Stopped-belt sampling merupakan sampling cara manual yang sangat baik untuk dilakukan, namun sampling cara ini sangat mengganggu jalannya operasi dikarenakan belt conveyor harus di berhentikan setiap kali mengambil contoh (increment).

4. Dapatkah seorang sampler mengambil contoh secara manual dari belt conveyor yang sedang berjalan?

Pengambilan contoh batubara secara manual oleh seorang sampler dari belt conveyor yang sedang berjalan dengan kecepatan serta kapasitas laju angkut (flowrate) yang tinggi dan dilakukan dalam kurung waktu yang cukup lama serta frekwensi pengambilan yang cukup tinggi, tidak mudah dilakukan dan sangat berbahaya, oelh karena itu sedapat mungkin hindarilah cara tersebut.

Dibawah ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan penggunaan cara tersebut, yaiitu :
Kecepatan belt conveyor
Tebalnya batubara pada belt conveyor
kapasitas laju angkut (flowrate)
Top size partikel batubara

Dalam beberapa standard method telah ditetapkan beberapa angka sebagai batasan akan kondisi yang dianggap berbahaya pada pengambilan contoh dengan cara tersebut.

Kondisi satuan AS BS ISO

Kecepatan belt conveyor M/dt - >1.5 >1.5

Tebalnya batubara pada belt conveyor Cm - 20 20

Kapasitas laju angkut (flowrate) Ton/jam >200 >200 >200

Top size partikel Mm 63 80 80

III. Accuracy (Akurasi)

Accuracy dalam bahasa indonesianya adalah akurasi atau ketepatan, Yang dimaksud dengan akurasi suatu pengukuran ialah besar atau kecilnya penyimpangan hasil pengukuran tersebut terhadap nilai sesungguhnya.

Cara menentukan akurasi adalah dengan jalan membandingkan hasil pengukuran dengan nilai sesungguhnya. Apabila perbedaannya sangat kecil maka dikatakan bahwa pengukuran tersebut akurasinnya tinggi atau disebut juga dengan sangat akurat, dan sebaliknya apabila perbedaannya besar maka dikatakan bahwa dengan pengukuran tersebut akurasinya rendah atau dengan kata lain tidak akurat.

Nilai sesungguhnya tidak pernah bisa diketahui, oleh karena itu penentuan akurasi suatu pengukuran pun tidak dapat dilakukan yang dapat dilakukan hanyalah membandingkan hasil pengukuran tersebut terhadap nilai yang dianggap sama dengan nilai sesungguhnya (nilai pendekatan). Nilai pendekatan didapat dengan cara :
Merata-ratakan sebanyak mungkin hasil pengukuran, pengukuran sebaiknya dilakukan oleh beberapa pengukur yang berbeda, tentunya dengan cara yang sama dan dianggap paling baik.
Menentukan cara dan tempat sampling yang dianggap akan mendapatkan contoh yang dapat menghasilkan nilai sesungguhnya (misalnya stopped belt).

IV. Precision (presisi)

Precision dalam bahasa indonesianya adalah presisi atau kecermatan.Jika suatu pengukuran dilakukan berulang-ulang dan memberikan hasil yang variasinya kecil, maka dikatakan bahwa presisi pengukuran tersebut tinggi, sebaliknya apabila memberikan hasil yang variasinya besar, maka dikatakan bahwa presisi pengukuran tersebut rendah.

Presisi dan akurasi sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda namun banyak orang menganggap kedua hal tersebut merupakan hal yang sama, perlu kita sadari bahwa suatu hasil analisa yang akurasinya rendah mungkin saja mempunyai presisi yang tinggi dan sebaliknya suatu hasil analisis yang presisinya tinggi mungkin saja tidak akurat.

Umumnya parameter yang dipergunakan untuk mengukur presisi ialah kadar abu, karena umumnya abu merupakan komponen yang paling bervariasi dalam batubara. Apabila kadar abunya rendah dan merata maka bisa dipergunakan parameter lain, seperti total moisture atau calorific value, namun perlu diperhatikan bahwa nilai kedua parameter ini mudah berubah.

V. Bias

Apabila perbedaan hasil suatu analisis dengan suatu hasil yang dianggap benar selalu lebih kecil atau selalu lebih besar, maka peristiwa tersebut disebut bias.

Batubara mempunyai partikel dengan ukuran dan berat jenis yang bervariasi, perlu kita ketahui bahwa kualitas tiap partikel batubara tersebut dapat berbeda satu sama lainnya.

semakin besar variansi distribusi partikel suatu batubara semakin besar pula variansi kualitasnya dan semakin besar kemungkinan terjadinya bias pada pengambilan contonya.

Sumber : http:http://idhamds.wordpress.com/2008/10/14/sampling-batubara/

Read More..

Rabu, 08 Juli 2009

Vulkanisme di Indonesia

1. PENDAHULUAN

Aktivitas batuan beku di Kepulauan Indonesia di beberapa tempat yang secara stratigrafi terletak pada batuan berumur tua hanya dijumpai dalam bentuk intrusi abisal dan hipabisal. Namun demikian aktivitas vulkanisma secara umum merupakan salah satu proses utama dalam perkembangan geologi kepulauan ini.

Kepulauan Indonesia adalah salah satu daerah gunungapi di dunia yang memiliki lebih dari 500 gunungapi muda dan 177 diantaranya aktif. Pengelompokan gunungapi ini terdiri dari gunungapi aktif dalam waktu sejarah, tahap solfatar dan fumarol dan lapangan solfatara-fumarol. Untuk Indonesia tahun 1600 diambil sebagai batas praktis untuk membatasi waktu sejarah menyebutkan gunungapi tersebut aktif atau tidak. Penyebutan ini sebenarnya relatif, karena boleh jadi suatu hari gunungapi yang pasif akan akan aktif lagi.


2. PRODUK LETUSAN GUNUNG API

Gunungapi-gunungapi di Kepulauan Indonesia menunjukkan tingkat letusan yang tinggi, dicirikan dengan material lepas yang dominan dibandingkan dengan seluruh material vulkanik yang keluar. Ritmann menghitung angka indeks erupsi gunungapi (IEG) dari Asia sekitar 95%, Filipina-Minahasa lebih dari 80%, Halmahera lebih dari 90%, Papua New Guinea lebih dari 90%, Busur Sunda sekitar 99%. Harga tertinggi IEG dalam sejarah tercatat pada letusan Tambora tahun 1815. Hal ini menunjukkan bahwa letusan yang kuat merupakan karakter dari gunungapi tipe orogen.

2.1. Breksi Gunungapi

Penamaan lahar pertama kali digunakan di Indonesia untuk menyebutkan breksi gunungapi yang ditransport oleh air. Istilah tersebut sekarang telah digunakan dalam acuan-acuan geologi dan vulkanologi. Lahar merupakan aliran lumpur yang mengandung material rombakan dan bongkah-bongkah menyudut berasal dari gunungapi. Endapan lahar mampu mencapai ketebalan beberapa meter sampai puluhan meter. Fragmen-frahmen penyusun terletak diantara matriks yang membulat sampai menyudut. Bongkah lava yang tertransport dapat mencapai beberapa meter kubik. Lahar dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu lahar dingin dan lahar panas. Lahar dingin tidaklah secara khusus berhubungan dengan aktivitas gunungapi. Ia dapat dipicu oleh hadirnya hujan di atas normal pada lereng yang tertutup oleh material lepas. Contoh lahar yang dipicu oleh hujan antara lain terdapat pada pelaharan G. Merapi yang mempunyai kisaran sebaran 25-30 km, serta lahar G. Raung mencapai jarak 40 km. Lahar dingin ini juga dapat dipicu oleh gempa, misalnya yang terjadi di Bengkulu pada tahun 1933. Lahar panas dapat disebabkan oleh pengosongan danau kawah, baik karena pembentukan kawah oleh amblesan maupun letusan. Letusan danau kawah akan menyebabkan arus lumpur panas, sehingga air akan bercampur dengan material gunungapi yang panas. Contoh pembentukan lahar ini terjadi di G. Kelud.

Guguran abu vulkanik di lereng gunungapi disebut ladu. Ladu merupakan campuran fragmen lava, dengan pasir dan abu yang dibentuk dari kubah aktif atau aliran lava. Ladu akan disebut sebagai awan-panas guguran ketika volume yang digugurkan menjadi besar dan terdiri dari bongkah lava membara merah pijar dan bergerak cepat. Apabila jumlah material yang gugur sangat besar, maka diasumsikan awan-panas guguran ini sudah merupakan karakter dari awan-panas letusan (Lacroix, 1930). Distribusi guguran gunungapi sangat dipengaruhi oleh topografi lokal. Guguran ladu cenderung mengikuti lembah; sementara guguran awan-panas akan menerjang melintasi lembah dan punggungan.

Suhu awan-panas di bagian dalam sangat tinggi, sementara di bagian tepi lebih cepat mendingin, sampai di bawah 450° C. Aliran awan-panas mampu menghanguskan tumbuh-tumbuhan, berbahaya bagi manusia dan hewan, serta merusak paru-paru. Suhu ladu relatif tinggi, diasumsikan suhu awal setingkat aliran lava antara 800°-1000° C. Setelah di kaki kerucut gunungapi suhu menurun menjadi 400o-450o C. Hartmann (1933) mengemukakan bahwa ladu G. Merapi mengandung COS, campuran berasal dari material organik dan belerang pada suhu di atas 400° C.

Hujan menyebabkan munculnya letusan sekunder yang kuat di endapan ladu baru. Ini merupakan hasil dari pembentukan uap air suhu tinggi, dan juga akibat oleh reaksi: COS+H20-CO2 t+H2S t+q (koefisien pemanas).

Neuman van Padang (1933) mengemukakan bahwa kecepatan jatuhan batu sekitar 30-35 m/detik pada kemiringan 35°, sedang kecepatan awan-panas guguran berawal dari 15-20 m/detik. Apabila terjadi peningkatan suhu lava dari 850°C menjadi 950°C, serta peningkatan kandungan gas, maka lava didorong ke luar oleh letusan kecil, sehingga masuk dalam kategori awan-panas letusan (Lacroix, 1930). Kecepatan awan-panas jenis ini sekitar 30-40 meter/detik, melebihi kecepatan guguran kubah lava. Penghancuran bongkah lava panas sepanjang peluncuran mendorong keluarnya gas yang tertekan. Efek dari pelepasan gas dan udara panas ini menjadikan tidak terjadi gesekan antar fragmen padat batuan. Ini menyebabkan selama terjadi awan-panas tidak terjadi bunyi bergemuruh.

Lacroix, Escher, dan Neuman van Padang telah menggolongkan awan-panas dari beragam aliran bongkah, pasir dan abu di lereng kerucut gunungapi. Semua awan-panas menunjukkan tipe guguran selama fase awal dan fase akhir dalam siklus erupsi, atau tipe letusan selama fase utama atau fase gas. Awan-panas ini naik tegak lurus ke atas, dan pada waktu yang sama suatu awan-panas menurun sepanjang lereng kerucut. Letusan memberikan jejak berbentuk kembang kol yang membubung ke atas.

Kerucut gunungapi muda mempunyai struktur labil sehingga mudah longsor dan membentuk rombakan di kaki lereng. Contoh kasus ini terdapat di G. Raung dan G. Galunggung. Di G. Raung, longsoran gunungapi membentuk bukit-bukit kecil di kaki gunungapi. Semula bukit-bukit ini dianggap pusat erupsi parasiter, tetapi Neuman van Padang (1939) membuktikan bahwa bukit tersebut merupakan sisa-sisa retas lava sepajang 60 km. Di sekitar G. Galunggung terdapat 3.600 bukit-bukit kecil yang dikenal dengan Perbukitan Seribu. Total volume bukit 142.4 juta m3, atau hanya 1/20 dari total volume sektor yang longsor. Pembentukan perbukitan ini diasumsikan terjadi karena kaldera dengan dinding tipis yang tersisa didorong ke luar, maka serakan dinding kaldera membentuk bukit-bukit di kaki gunungapi. Peristiwa di G. Raung dan G. Galunggung ini mungkin merupakan longsoran sangat besar yang kejadiannya dipicu oleh gempabumi, pembentukan retakan, guguran vulcano-tectonic, atau oleh erupsi ultra-volcanic seperti yang terjadi di Bandai-San di Jepang.

2.2. Pasir dan Debu Gunungapi

Breksi gunungapi nampak seperti hasil dekomposisi sekunder, penghancuran ekstrusi lava primer, pasir dan debu gunungapi. Transisi antara keduanya dibentuk oleh awan-panas dari ladu. Endapan seperti itu sering ditemukan di sekitar depresi volcano-tectonic seperti Toba dan Ranau di Sumatra. Endapan ini tidak disebarkan melalui udara, tetapi oleh aliran tufa mengikuti relief topografi. Aliran tufa ini dapat mencapai ketebalan beratus-ratus meter, dan endapan bagian bawah kadang terlaskan oleh proses auto-pneumatolitic, sebagai pembentukan ignimbrit. Endapan tersebut biasanya dihubungkan dengan erupsi celah jenis Katmaian.

Pasir dan debu akan tersebar di sekitar pusat erupsi gunungapi. Variasi endapan tersebut dengan breksi dan aliran lava akan membentuk struktur perlapisan (strato-volcanoes). Setelah letusan, abu vulkanik yang menutup permukaan. Pengendapan kembali abu vulkanik ini membentuk aliran lumpur dingin atau lahar di kaki gunungapi. Komposisi debu vulkanik yang dijatuhkan berubah sesuai dengan jarak dari pusat letusan. Unsur yang berat, seperti piroksen, ampibol dan bijih jatuh di dekat gunungapi, sedangkan partikel-partikel ringan dan gelas menyebar lebih luas.

2.3. Aliran Lava
Oleh karena explosivitas yang tinggi, breksi dan debu menjadi produk utama gunungapi di Indonesia, namun aliran lava juga merupakan gejala yang umum dijumpai. Contoh terbaru, lava mengalir dari celah pada G. Batur pada tahun 1926 (Stehn, 1928) dan aliran lava parasitik terjadi di G. Semeru pada tahun 1941 (Bemmelen, 1948). Tingkat kemampuan pengaliran sangat bervariasi. Aliran lava G. Merapi selama November-Desember 1930 rata-rata 300.000 m3 per hari, sedang pada tahun 1942-1943 rata-rata 12.000-15.000 m3 per hari.

Aliran lava panas relatif dinamis, mengikuti lembah sungai sebagai aliran, atau berlembar seperti tirai lava hasil erupsi fase B dari Tangkuban Prahu. Aliran lava dalam viskositas rendah dapat berbentuk lorong lava, sebab inti cairan lava terus mengalir setelah pembekuan mantel sebelah luar. Van Den Bosch (1941) mendeskripsikan contoh aliran lava andesitik ke dasitik yang jauh lebih kental, sehingga membentuk lidah lava.

2.4. Kubah Lava

Sifat kekentalan magma meningkat sebanding dengan penambahan kandungan silika. Sebagian andesit dan dasit yang sangat asam, akan mudah membentuk kubah, yang kadang-kadang disertai dengan lidah lava tebal menonjol pada bagian bawahnya. Banyak contoh dapat ditemukan di Indonesia, misalnya di erupsi Galunggung 1918, Kelud 1920, dan Merapi. Sekitar 40 kubah lava di Indonesia telah dideskripsi menjadi beberapa tipe. Hartmann menaksir bahwa separuh jumlah gunungapi aktif memproduksi kubah lava dengan kandungan 55% Si02, miskin gas, dan dengan suhu sekitar 95o C.

Bentuk kubah dipengaruhi oleh konfigurasi dari tempat lava diekstrusikan. Kubah tumbuh seiring dengan penambahan energi dari dalam sehingga luar lapisan sangat diregangkan. Akan terjadi semacam stratifikasi mantel berurutan yang paralel dari luar ke dalam dengan ketebalan sampai beberapa meter. Kubah yang terbentuk mempunyai kemiringan kubah antara 35°- 40°. Akhir pembentukan kubah lava akan membentuk depresi di bagian puncaknya. Depresi ini merupakan hasil berbagai faktor, seperti penyusutan oleh pendinginan, atau berhentinya tekanan keatas.

3. JENIS AKTIVITAS GUNUNGAPI

Kepulauan Indonesia menunjukkan adanya aktivitas gunungapi yang mempunyai cakupan luas. Mulai dengan ketenangan solfatara dan fumarole, dan meningkat secara ritmik, sehingga pelepasan energi di kawasan ini dapat dipelajari, termasuk letusan yang tidak terduga dari Tambora pada tahun 1815 dan Krakatau pada tahun 1883.

3.1. Aktifitas Solfatara dan Fumarol
Aktivitas solfatara dan fumarole mencerminkan kenaikan kandungan gas ke permukaan. Separuh pusat gunungapi aktif di Indonesia (89 dari 177) menunjukkan gejala ini.

3.2. Letusan Freatik

Letusan yang freatik terjadi karena adanya penambahan material gas yang mudah menguap (air, gas sulfur, karbondioksida dan semacamnya) yang berada di atas tubuh batuan beku yang panas, tetapi tidak diekstrusi oleh batuan tersebut. Contoh erupsi ini terjadi pada erupsi lumpur Kawah Baru di G. Papandayan pada kawah 1923 (Taverne, 1925), dan di Suoh pada tahun 1933 (Stehn, 1934). Erupsi freeatik Suoh memberikan pemahaman yang luar biasa. Pertama, letusan freatik yang dipicu oleh gempa bumi tektonik sangat jarang terjadi. Kedua, merupakan letusan freatik terbesar yang pernah diamati. Total jumlah lumpur yang dierupsikan sekitar 210 juta m3, menutupi daerah 35 km2 dengan ketebalan lapisan lumpur di pusat erupsi sekitar 20 m. Stehn mengkalkulasi kedalaman letusan mencapai 270 m.

3.3. Gunungapi Orogen

Gunungapi orogen normal memproduksi material magmatik alkali kapur, yang bervariasi dari erupsi eksplosif paroksismal tipe Plinian, sampai effusif lemah berupa sumbat lava. Jenis aktivitas gunungapi terutama tergantung pada dua faktor: a) sifat alamiah magma dan dinamika gas di dalamnya, dan b) komposisi kimia batuan, dan hubunganya dengan kandungan gas.

Escher (1933) menunjukkan bahwa karakter letusan terutama ditentukan oleh tekanan gas dan sifat kekentalan. Letusan Merapi merupakan prototipe aktivitas dari gunungapi tipe orogen di Indonesia. Gunungapi ini menunjukkan variasi karakter letusan yang beranekaragam. Kadang bersifat paroksismal dan meletus dengan waktu singkat dan kesempatan lain lava kental menerobos keluar pelan-pelan dari lubang konduitnya. Komposisi kimia dari lava, bagaimanapun, hanya sangat sedikit variasi dalam periode historis ini (54-55% Si02), sedemikian sehingga yang sifat kekentalan boleh berbeda dengan suhu tetapi sebenarnya relatif konstan.

Hartmann (1935) menggolongkan letusan Merapi ke dalam empat kelompok, berdasarkan isi gas dari letusan magma. Empat kelas ini menjadi proto-types dari gunungapi tipe orogen normal dengan produk batuan beku alkali kapur menengah. Secara umum, kelas A tidak menyebabkan letusan utama. Pada kelas B krisis mengikuti suatu fase awal, biasanya cukup waktu untuk pengungsian dan ukuran pencegahan lain. Yang paling berbahaya adalah letusan dari jenis C dan D, dengan pelepasan energi utama gunungapi tidak lama setelah permulaan siklus letusan.

Tabel 1: Penggolongan Erupsi Gunungapi (Hartmann)

Kelas A Wujud letusan sedikit / miskin gas. Fase awal dimulai dengan satu letusan kecil yang mengawali ekstrusi lava. Fase utama berupa pembentukan kubah lava dengan kecepatan 12.000 – 30.000 m3 per hari, sampai kubah mencapai volume besar, dan kemudian pertumbuhan kubah berhenti. Siklus diakhiri dengan proses guguran lava pijar yang berasal dari kubah. Kejadian guguran lava pijar dan awan-panas kecil dapat berlangsung.

Kelas B Wujud letusan lebih cukup banyak gas. Siklus diawali dengan adanya kubah lava sebagai batuan penutup kawah. Fase awal dimulai dengan letusan kecil yang menghancurkan batuan penutup. Fase utama berupa letusan tipe Vulkano yang bersumber di kubah lava dan menghancurkan kubah lava yang ada. Letusan menghasilkan asap letusan Vulkanian. Sebagian material kubah yang hancur manjadi awan-panas yang menyertai letusan tersebut. Fase akhir diisi dengan aliran lava kental atau pertumbuhan kubah lava baru pada bagian kubah atau di samping kubah yang hancur.

Kelas C Wujud letusan lebih banyak gas. Fase awal dimulai dengan adanya sumbat lava (bukan kubah lava) yang menutup kawah. Fase utama berupa letusan tipe St Vincent yang menghasilkan lubang baru. Fase akhir diisi dengan aliran lava, lidah lava, atau pertumbuhan kubah lava baru pada bagian kubah yang hancur. Jangka waktu letusan bervariasi, tetapi biasanya singkat. Ketika tekanan gas telah diturunkan oleh letusan ini, magma kental naik ke lubang konduit, sehingga menyebabkan suatu fase akhir dengan aliran lidah lava atau pembentukan suatu kubah lava.

Kelas D Wujud letusan lebih sangat kaya gas. Fase awal berupa letusan kecil yang melemparkan isi kawah. Fase utama berupa letusan tipe Perret yang langsung menyembur dan menghancurkan bagian atas tubuh gunungapi. Fase akhir diisi dengan aliran lava mengisi bagian tubuh gunungapi yang hancur. Pentingnya awan-panas yang menyertai erupsi ini sangat kuat, sebab puncak dari gunungapi adalah sering sebagian dirusak sepanjang fasa-utama dan material tua, begitu menambahkan kepada material baru, maka akan meningkatkan volume ladu dan menyertai awan-panas sepanjang fase erupsi.

3.4. Letusan Plinian

Letusan paroksismal paling kuat aktivitas gunungapi dimiliki oleh tipe Plinian. Salah satu contoh dikenal terbaik adalah letusan Krakatau pada tahun 1883 yang diuraikan Verbeek (1885), juga Escher (1919) dan Stehn (1929). Gentilli ( 1948) mempelajari kemungkinan efek dari letusan Krakatau 1883 pada iklim dunia.

Salah satu dari bencana gunungapi yang terbesar di zaman sejarah menjadi letusan dari Tambora pada 1815. Selama letusan ini tentang 150 juta m3 produk gunungapi dikeluarkan dan menyebabkan 92.000 korban yang merupakan seperempat total korban dari letusan gunungapi di dunia.

3.5. Letusan Katmaian

Di Indonesia tidak ada letusan jenis Katmaian. Letusan pernah terjadi pada zaman Holosen di Pasumah dan Toba. Studi mendalam aliran tufa liparit dan lava liparit akan mungkin mengungkapkan bahwa letusan celah itu jenis Katmaian, yang memproduksi ignimbrite.

Menurut Westerveld (1942) ignimbrit Pasumah di Sumatra Selatan juga merupakan aliran tufa riolitik yang terlaskan. Kristalisasi epigenetik gelas dari endapan tufa, dengan pembentukan albite sekunder dan tridimite dimasukkan sebagai pneumatolitik pada suhu 600° dan 400o C atau lebih rendah. Tufa Tuba di Sumatra Utara dikenali sebagai ignimbrit. Ignimbrit ini juga dikenali sebagai quartz-trachytes, quartz-trachyte-andesites, liparit, tufa liparit, atau riolit, yang pada dasarnya semua adalah batuan piroklastic. Tufa Toba tersebut menutupi kawasan seluas 20.000-30.000 km2 dan jumlah material yang secara umum disebut piroklastik ini terdiri dari kira-kira 1.500-2.000 km2.

3.6. Gunungapi Baru

Di Kepulauan ini gunungapi baru jarang terbentuk di dalam zaman historis. Di tahun 1898 pembentukan maar terjadi di Perkebunan Kali Jeruk, kaki G. Lamongan. Di tahun 1943, di G. Pegunungan di Timur Laut Papua, letusan gunungapi terjadi pada suatu tempat sebelumnya tidak ada gunungapi aktif direkam, meskipun demikian ada laporan bahwa ada aktivitas solfatar di daerah ini.

3.7. Aktivitas Gunungapi Bawah Laut

Neuman van Padang (1938) menyebutkan pusat aktivitas gunungapi bawah laut berikut di Kepulauan Indonesia dan tetangganya. Karakter dari suatu letusan sebagian besar ditentukan oleh sifat kekentalan dari magma dan tekanan gas. faktor yang membentuk tergantung pada komposisi kimia dan suhu. Magma subsilicatic basa sangat encer dibanding asam dan intermediet. Kita dapat menyusun berbagai jenis aktivitas gunungapi menurut tekanan gas dan yang sifat merekat di dalam tabel 2.

Tabel 2: Hubungan tekanan gas dan kekentalan lava

Kekentalan rendah Lembar lava, dengan contoh pada basal Sukadana dan rupsi fase B dari G. Tangkuban Prahu Stromboli, dengan contoh pada erupsi G. Batutara Erupsi tipe Plini, dengan contoh pada pembentukan kaldera G. Tambora 1815. Kekentalan menengah Aliran lava, dengan contoh pada erupsi G. Batur 1926dan G.Semeru 1941 Erupsi intermittent yang disebabkan oleh hujan dan awan-panas, dengan contoh erupsi G. Semeru 1885 - 1913 Erupsi tipe Plini , dengan contoh pada pembentukan kaldera G. Krakatau 1883.

Kekentalan tinggi Kubah lava, misalnya pada erupsi G. Galunggung 1918 dan G. Merapi 1940 Letusan yang disebabkan oleh hujan dan awan-panas dengan contoh di G. Merapi 1930-1935, 1942-1943 Erupsi tipe Katmai, dengan contoh erupsi pra sejarah di Posumah.

Tekanan gas rendah Tekanan gas menengah Tekanan gas tinggi
Klasifikasi A B-C D

4. PERIODISITAS AKTIVITAS GUNUNGAPI

Contoh baik periodiditas yang teratur tidak dijumpai karena tidak ada pengamatan detil, tetapi juga karena variabilitas dari faktor eksternal. Meskipun demikian, pengamatan dari dekat kadang-kadang menunjukkan suatu kecenderungan siklus, yang mungkin ditafsirkan sebagai ungkapan suatu kecenderungan waktu periodisitas aktivitas gunungapi.

4.1. Krakatau

Suatu irama dengan perioda erupsi yang berabad-abad ditunjukkan oleh kelompok Krakatau. Disini terdapat tiga siklus deferensiasi magmatik yang sesuai dengan peningkatan kandungan silika dari produk erupsi, yaitu fase Krakatau purba, fase Rakata, fase Perbuatan dan fase Anak Krakatau. Deduksi teoritis ini mempunyai hubungan yang tegas dengan tindakan pencegahan terhadap ancaman Krakatau. Ini penting untuk mendukung rasa hormat pada ahli gunungapi. Kejadian meletusnya Krakatau menunjukkan bahwa letusan akan cenderung diikuti oleh pengrusakan, dan bahkan akan menyebabkan ribuan orang meninggal. Penganan jauh hari penting dilakukan untuk menghindari.

4.2. Semeru

Semeru menunjukkan kecenderungan yang berbeda dalam waktu tertentu dalam langkah-langkah aktivitasnya: antara periode aktivitas yang kita temukan, periode tidur musim istirahat, serta durasi untuk tiap-tiap orde. Tetapi periodisasi aktivitasnya berumur beberapa hari sampai beberapa bulan dipisahkan oleh interval istirahat.

4.3. Kelud

Periode istirahat G. Kelud 1-12 tahun. Secara periodik meletus, membuang isi danau kawah di puncaknya. Ini menyebabkan bencana akibat suhu solfatar pada banjir lahar yang melanda lahan subur dan pemukiman di kaki gunungapi.

5. BENTUKAN GUNUNGAPI

Klasifikasi genetis bentukan vulkanik dapat diberikan, dan mempunyai keuntungan bahwa itu memungkinkan kita menguraikan hubungan antara proses tektonis dan gunungapi. Hasil bentukan gunungapi dapat dikelompokkan ke dalam dua kelas utama, yaitu a) bentukan positif (protuberance), dan b) bentukan negatif (hollow). Kedua-duanya dapat dibagi menjadi dua sub kelompok, yaitu sub-kelompok gunungapi, dan sub-kelompok volcano-tectonic.

Bentukan Positif Gunungapi, terjadi karena volume magma yang dikeluarkan sama dengan volume magma yang menekan ke atas. Termasuk golongan ini adalah: lava shield di Sukadana, comulo volcanoes di Lampung, cinder cone di G. Lamongan, dan strato volcanoes G. Merapi. Bentukan Positif Volcano-tectonic terjadi karena volume magma yang ditekan ke atas melebihi volume material yang dikeluarkan di permukaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah punggungan akibat injeksi lakolit dan pengangkatan geantiklin karena gaya magma endogen. Termasuk golongan ini adalah pengangkatan karena pembubungan lakolit di kompleks Mapas, pengangkatan karena pembubungan batolit di Batak tumor, serta pengangkatan geantiklin karena pembubungan astenolit, misalnya di perbukitan Barisan.

Bentukan gunungapi negatif terjadi ketika jumlah material yang disebarkan oleh letusan lebih besar dari material yang dikirimkan dan disimpan di dalam kawah. Bentukan negatif gunungapi terdiri dari bentukan letusan atau bentukan amblesan.

Bentukan negatif dapat terjadi karena kegiatan letusan dan amblesan. Bentukan karena letusan terjadi ketika material yang dipindahkan lebih banyak dibanding magma yang dikirimkan ke permukaan. Bentukan eksplosif ini dapat berupa maar, misalnya di Grati, dan kawah di banyak tempat. Bentukan amblesan (kaldera) misalnya di Tengger. Bentukan negatif Volcano Tectonic dapat terjadi karena rifft-structure dan subsidence-structure. Rifft-structures (barranco, sector-graben dan lainnya, yang disebabkan oleh runtuhan kerucut vulkanik, misalnya G. Surapati; disebabkan oleh pengangkatan kerucut, misalnya G. Merbabu, disebabkan oleh tectonic arching, G. Ringgit-Beser. Subsidence structure, misal G. Ungaran.

Tanakadate (1929) memerikan beberapa tipe kaldera, yaitu:
a) Kaldera Kawah, terdapat di bagian puncak dan dengan bentuk relatif bulat, sehingga seperti kerucut terpotong. Contoh kaldera jenis ini terdapat di Tengger dan Batur.
b) Kaldera Depreso berhubungan dengan gunungapi maupun kompleks gunungapi, tetapi tidak selalu berubungan dengan pusat erupsi. Contoh kaldera ini di Bantam.
c) Tipe kerucut, berbentuk konkoidal yang merupakan hasil erupsi 2 kawah bersamaan, yang berbeda dengan 2 sebelumnya. Cekungan Pilomasin di Lampung merupakan contoh kaldera ini

Read More..